Senin, 11 Mei 2015

Perekonomian Indonesia

PEREKONOMIAN INDONESIA
“Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah”








(KELOMPOK V)

NAMA ANGGOTA :

1.     Diyah Wieny Pramudita          (23214221)
2.     Imas Devi Riatna                     (25214231)
3.     Lisna Aprilianti                       (26214116)
4.     Zhamia Hana Rizqita               (2C214669)

KELAS : 1EB06

UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN 2014/2015
                                              DEPOK   

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktunya.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah.Diantaranya akan membahas mengenai Undang-Undang Otonomi Daerah, Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah, serta Pembangunan Ekonomi Regional. Makalah ini diajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Makalah ini dibuat dari berbagai sumber dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan makalah ini.Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Depok, Mei 2015


Kelompok V
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I        PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................... 5
BAB II       PEMBAHASAN
2.1 Undang undang Otonomi Daerah............................................................................... 6
2.2 Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah....................... 10
2.3 Pembangunan Ekonomi Regional............................................................................... 13
BAB III      PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 19
3.2 Saran........................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 21





BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang  
Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan Indonesia.Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini, menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan  dari pemerintah pusat.

Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman terhadap keutuhan NKRI.Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat dari pada daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut otonomi daerah untuk mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkannya.Oleh karena itu, pemakalah berusaha untuk mengkaji lebih dalam tentang Otonomi Daerah dan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
1.2     Perumusan Masalah

            Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas masalah sesuai dengan batasan yang ada, antara lain:
1.      Apa saja undang-undang mengenai otonomi daerah?
2.      Bagaimana perubahan penerimaan daerah?
3.      Bagaimana peranan pendapatan asli daerah terhadap otonomi daerah?
4.      Apa yang dimaksud pembangunan ekonomi regional?

1.3     Tujuan Penelitian
           
Tujuan dari penelitian makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1            UNDANG – UNDANG OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.      Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  1. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan.
  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
 Tentang UU Otonomi Daerah
UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998.Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan.Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Perubahan UU Otonomi Daerah
Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi.Ada banyak kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah.Dengan terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor  23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

2.2            Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi.Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD…
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda.Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja.Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
Perubahan atas pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD.Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
  1. Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
  2. Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
  3.  Jika dalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
Perubahan atas alokasi anggaran belanja merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berrdasarkan penyebabnya adalah:
  1. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.
  2. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak berubah.
  3. Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan APBD.
Perubahan dalam pembiayaan terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat penyusunan APBD harus direvisi.Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).
SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu.Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.
Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun berjalan dengan Laporan  Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan perubahan alokasi belanja.

2.3 Pembangunan Ekonomi Regional
Kebijakan pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan keputusan dan intervensi pemerintah, baik secara nasional maupun regional untuk mendorong proses pembangunan daerah secara keseluruhan. Analisis ini sangat penting artinya dalam rangka menerapkan teori dan konsep yang di jelaskan terdahulu guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan pada wilayah yang masih terbelakanag. Semua ini diperlukan untuk dapat meningkatkan proses pembangunan daerah sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
 A. Perlunya Kebijakan Pembangunan Wilayah
Kebijakan Pembangunan merupakan keputusan publik yang di perlukan di tingkat nasional maupun wilayah sehingga dapat di wujudkan suatu kondisi sosial yang diharapkan akan dapat mendorong proses pembangunan ke arah yang di inginkan masyarakat, baik pada saat sekarang maupun untuk periode tertentu di masa yang akan datang. Sasaran Akhir dari kebijakan pembangunan tersebut adalah untuk dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan pada tingkat wilayah diperlukan karena kondisi permasalahan dan potensi pembangunan yang dimiliki suatu wilayah umumnya berbeda satu sama lainnya sehingga kebijakan yang diperlukan tidak sama. Misalnya wilayah pantai yang masyarakatnya umumnya para nelayan akan memerlukan kebijakan pembangunan yang berbeda dengan masyarakat daerah dataran tinggi yang banyak begerak dalam usaha perkebunan, ataupun daerah perkotaan yang banyak bergerak pada sektor perdagangan jasa dan industri yang berbeda dengan daerah kabupaten yang didominasi oleh sektor pertanian.
Kebijakan pada tingkat nasional yang diberlakukan secara umum pada seluruh wilayah tidak akan sesuai untuk memecahkan masalah pembangunan pada masing-masing daerah karena setiap daerah memiliki kondisi daerah tersebut mempengaruhi kondisi pembangunan. Oleh karena itu untuk memaksimalkan proses pembangunan daerah, maka kebijakan pembangunan wilayah yang saling terkait perlu di tetapkan untuk masing-masing daerah agar terdapat sinergi dalam proses pembangunan wilayah.
Urgensi dan peranan kebijakan pembangunan wilayah berbeda pola pembangunan negara bersangkutan bersifat sentralisasi dan otonomi (desentralisasi). Pada saat pola pemerintahan dan pembangunan suatu negara bersifat sentralisasi, kebijakan pembangunan regional tidak terlalu menentukan dan hanya merupakan penunjang (sub-set) dari kebijakan pembangunan nasional sehingga aspirasi pembangunan yang berkembang di masing-masing wilayah hanya dapat di terima dan di benarkan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Permasalahan kemudian muncul bilamana kondisi dan potensi daerah pada negara bersangkutan sangat bervariasi, sehingga kebijakan yang cenderung seragam tidak dapat memecahkan permasalahan daerah secara menyeluruh.
Sedangkan bila bersifat desentralisasi, maka urgensi dan peranan kebijakan pembangunan wilayah menjadi lebih besar dan penting sehingga masing-masing daerah akan dapat menetapkan kebijakan pembangunan berbeda sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional lebi banyak berfungsi sebagai untukmemberikan arah pembangunan secara menyeluruh (makro) sedangkan kebijakan pembangunan wilayah (regional) akan berfungsi untuk mendorong proses pembangunanpada daerah bersangkutan sesuai dengan kondisi, permasalahan dan potensi.
 B. Sasaran Kebijakan Wilayah
Menurut  pandangan Winnick (1966) dan kemudiandi lanjutkan oleh Richargson (1978) terdapat dua alternatif sasaran kebijakan wilayah yaitu:
  1. Kemakmuran Wilayah
Bertujuan untuk mewujudkan kondisi fisik daerah yang maju meliputi prasarana dan sarana, perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas pelayanan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup dan lain-lainnya. Hal tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat cepat, kegiatan penanaman modal meningkat pesat, dan mendorong peningkatan migrasi masuk dari daerah lain seiring bertambahnya lapangan kerja.
Namun demikian, kemajuan ini biasanya akan di nikmati oleh para pendatang yang kualitas sumber daya manusianya lebih baik dari penduduk setempat. Akibatnya akan terjadi ketimpangan distribus pendapatan yang cukup tinggi antara para pendatang dan dan penduduk setempat.
    2. Kemakmuran Masyarakat
Bilamana kemakmuran masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah,maka tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada pembangunan penduduk setempat. Program dan kegiatan lebih banyak di arahkan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan produksi masyarakat.
            Bila upaya pembangunan wilayah lebih banyak di arahkan pada peningkatan kemakmuran masyarakat, maka laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penyediaan lapangan kerja pada daerah bersangkutan cenderung bertumbuh lambat di bandingkan peningkatan kemakmuran wilayah.Hal ini di sebabkan, upaya pembangunan diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat yang biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
 C. Penetepan Wilayah Pembangunan
Penetapan Wilayah pembangunan ini perlu di lakukan agar pemberlakuan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut dapat ditentukan dengan jelas dan tegas dimana cakupan wilayahnya. Penetapan wilayah pembangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan empat aspek utama yaitu :
  1. Kesamaan Kondisi, permasalahan dan potensi umum daerah baik di bidang ekonomi, sosial , dan geografi. Bila aspek ini di jadikan sebagai pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah.
  2. Keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan. Keterkaitam ini dapat diketahui melalui data tentang kegiatan dagang antar daerah dan mobilitas penduduk (migration) antar daerah. Bila aspek ini dijadikan sebagai dasar utama pembentukan wilayah pembangunan tersebut, maka wilayah in dinamakan nodal region. Aspek ketrkaitan ini sangat penting artinya untuk kebijakan pembangunan wilayah yang ditetrapkan dapat mendorong terjadinya keterpaduan dan sinergi pembangunan antar daerah dalam wilayah yang bersangkutan.
  3. Kesamaan karakteristik geografis antar daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan tersebut. Karateristik geografis tersebut meliputi jenis daerah (pantai, pegunungan atau daerah aliran sungai), kesuburan dan kesesuaian lahan, dan potensi sumberdaya alam. Bila aspek ini dijadikan sebagai sumber aspek utama penetapan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dapat dinamakan sebagai wilayah fungsional. Aspek ini sangat penting dalam penetuan wilayah pembangunan.
  4. Kesatuan wilayah administrasi pemerintahan antara propinsi, kabupaten dan kota yang tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan. Bila pertimbngan merupakan unsur utama yang melandasi pembentukan wilayah pembangunan tersebut, mka wilayah ini dinamakan sebagai wilayah perencanaan (planniang region).
 D. Bentuk Kebijakan Pembangunan Wilayah
  1. Kebijakan Fiskal Wilayah
Wilayah Kebijakan fiskal pada tingkat wilayah (region fiscal policy) dapat dilakukan dalam bidang pengaturan dan pengendalian penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Alasanya adalah jelas karena penerimaan dan belanja daerah akan langsung mempengaruhi kinerja pembangunan daerah tersebut. Pendapatan daerah dapat berbentuk PAD yang diperoleh dari pajak dan retribusi daerah berikut hasil bersih perusaan daerah, serta alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat. Sedangkan belanja daerah dapat berbentuk biaya aparatur, belanja publik dan belanja modal sebagaimana terlihat dalam anggaran APBD daerah bersangkutan.
Termasuk juga dalam belanja daerah ini adalah penggunaan dana dekonsentrasi dan dana pembantuan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kemasing-masing daerah melalui dinas dan instansi vertikal didaerah. Kebijakan fiskal wilayah menyangkut dengan pengeluaran yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong proses pembangunan daerah dalam bentuk peningkatan proporsi dana APBD yang dialokasikan untuk belanja publik dan belanja modal. Kebijakan wilayah fiskal menyangkut dengan aspek belanja yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dalam bentuk peningkatan keterkaitan antara perencanaan dan anggaran. Dengan cara demikian pengalokasian dana dan dan belanja pembangunan akan dapat disesuaikan dengan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah. Kebijakan wilayah fiskal juga dapat dilakukan melalui kebijakan nasional dengan menggunakan dana alokasi khusus. Peranan ini dapat dilakukan melaui penentuan arah dan prioritasnya penggunakan DAK tersebut sesuai dengan kepentingan nasional.Biasanya prioritas penggunaan DAK diberikan pada kegiaan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, pembangunan prasarana jalan yang tidak mampu dibiayai oleh APBD dan peningkatan kualitas hidup. Disamping itu, alokasi DAK juga diprioritaskan untuk peningkatan proses pembangunan pada daerah sedang berkembang dalam rangka mengurangi ketimpangan pembangunan.
 2. Kebijakan Moneter Wilayah
Kebijakan moneter ini lebih terbatas dari pada kebijakan fiskal.Hal ini disebabkan karena pada dasarnya bersifat makro sehingga sulit untuk dibatasi pelaksanaannya pada wilayah tertentu. Namun demikian, masih terdapat beberapa kemungkinan pelaksanaanya kebijakan moneter wilayah untuk aspek tertentu, misalnya menyangkut dengan kebijakan pemberian kredit perbankan yang dibedakan untuk daerah-daerah yang sudah maju (developed regions) dengan daerah yang sedang berkembang (developing regions) Kebijakan pemberian kredit perbankan untuk daerah sedang berkembang dapat diberikan dalam bentuk prosedur dan jaminan yang lebih sederhana sehingga para pengusaha di daerah tesebut dapat memanfaatkan fasilitas kredit tersebut. Begitu juga keringanan modal ventura juga dapat juga digulirkan untuk menarik minat investor. Namun demikian kantor bank indonesia daerah setempat perlu selalu mengawasi agar fasilitas perbankan tersebut secara benar-benar digunakan dengan benar. Kebijakan moneter wilayah lainnya yang juga dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan lembaga-lembaga non bank sebagai alternatif untuk penyediaan pembiayaan bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat.


BAB III
PENUTUP

2.3            Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
Dalam melaksanakan realisasi otonomi daerah, pemerintah pun mengaturnya dalam undang – undang yang terkait.Dalam pelaksanaanya, otonomi daerah memiliki keterkaitan diantaranya dengan perubahan penerimaan daerah yang terkait dengan perubahan APBD atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, peranan pendapatan asli daerah, juga terkait dengan pembangunan ekonomi regional yang memiliki tujuan demi terciptanya otonomi daerah yang baik dan efektif.





2.4            Saran

Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai Otonomi Daerah sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami menyadari sebagai manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak terkecuali dengan makalah yang kami buat.Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.Amiiin.


DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia
https://fallinginlol.wordpress.com/2013/12/26/ekonomi-regional-7-kebijakan-pembangunan-regional/